Minggu, 26 Maret 2017

Lake Louise

MENELUSURI LAKE LOUISE, ALBERTA

Kalian yang merupakan penggemar wisata danau pastinya sudah tidak asing lagi dengan salah satu destinasi wisata favorit di bagian barat Kanada ini.
Lake Louise merupakan sebuah danau gletser yang terletak di Taman Nasional Banff, Provinsi Alberta, Kanada. Danau yang berukuran panjang 2 km dan lebar maksimal 0,5 km ini memiliki luas sekitar 0,8 km2 dengan kedalaman maksimal yaitu 70 meter. Nama Lake Louise sendiri diambil dari nama putri keempat Ratu Victoria, Louise Caroline Alberta.
Image result for lake louise
Pemandangan Lake Louise diperkaya dengan keindahan salju abadi dari Mt. Victoria (Photo Source: ski-canada.com)
Danau-danau gletser di Kanada, seperti Emerald Lake, Moraine Lake, dan Lake Louise memang terkenal karena berwarna biru kehijauan. Endapan bebatuan gletser (rock flour) yang jatuh ke danau akan membuat air danau tampak berwarna zamrud atau toska. Oleh karenanya, Lake Louise pun menjadi photogenic secara alami. Namun daya tarik Lake Louise tidak berhenti sampai segitu saja, kawan!
Di tepi Timur danau, berdiri salah satu hotel berkelas dunia, yaitu Chateau Lake Louise. Selain melayani penginapan, hotel yang dioperasikan oleh Fairmont Hotel & Resort ini juga menyediakan tempat makan malam romantis yang menyuguhkan langsung pemandangan Lake Louise. Pengunjung biasa juga diperbolehkan masuk untuk menikmati interior lobby hotel. Kalian akan banyak melihat wedding photoshoot dan pesta pernikahan di taman hotel, tepatnya di pintu masuknya.
Image result for fairmont chateau lake louise
Chateau Lake Louise (Photo Source: theroomingboamers.com)
Image result for fairmont chateau lake louise dining room
Suasana dining room hotel (Photo Source: fairmont.com)
Lalu, apa saja yang bisa dilakukan di Lake Louise selain dari foto-foto? Ini dia, aktivitas yang bisa kamu lakukan di sana. Pastinya betah berlama-lama, deh!
  1. Hiking. Ada banyak jalur pendakian yang dibuka di sepanjang pegunungan dan bukit-bukit yang mengepung Lake Louise. Kamu bisa bersepeda menelusuri jalur ataupun mencoba menunggang kuda. Aktivitas panjat tebing juga sering ditemui.
  2. Mencoba olahraga dayung. Kamu bisa menyewa dan mendayung perahu kayak atau kano di sini untuk dapat menikmati pemandangan dari atas perairannya langsung.
  3. Di musim dingin, ketika kondisi tidak memungkinkan olahraga kano dan kayak untuk beroperasi, Lake Louise tidak sepenuhnya mati beku. Turis berbondong-bondong mengunjungi tempat ini untuk bisa ber-iceskating di atas danau yang telah membeku. Di sekitar danau juga ditawarkan fasilitas khas musim dingin lainnya, seperti snowmobile, kereta anjing (dogsled), snowshoe, ice climbing, hingga ice fishing.
  4. Bagi kalian yang gak mau ribet-ribet, taman depan Chateau Lake Louise dibuka secara umum bagi pengunjung yang ingin berpiknik. Banyak wisatawan yang ikut berbaring dan menikmati pemandangan di depan mereka sembari menghabiskan waktu.
Related image
Photo Source: toadventureblog.com
Related image
Istana es di tengah danau (Photo Source: internationaltraveller.com)
Mendapat penilaian 4,5 dari 5 bintang di Trip AdvisorLake Louise memang pantas masuk ke daftar must visit kalian yang berencana ingin ke Kanada, khususnya Banff. Pemandangan yang kaya dan spektakuler dijamin akan membuat mulut kalian jatuh ternganga!
Image result for Lake Louise and fairmont
Photo Source: lakelouisejobs.com

Senin, 20 Maret 2017

Curiosity yang Kesepian di Mars

SENDIRIAN DI MARS, INI YANG DILAKUKAN CURIOSITY SETIAP 5 AGUSTUS

NASA pernah meluncurkan sebuah robot penjelajah baru ke Mars pada 26 November 2011 lalu sebagai bagian dari misi NASA Mars Science Laboratory (MSL). Robot yang diberi nama Curiosity ini berhasil mendarat di Kawah Gale, Mars pada 5 Agustus 2012. Curiosity diklaim sebagai salah satu prestasi besar dalam eksplorasi luar angkasa karena robot ini merupakan rover terbesar yang pernah dikirim ke permukaan planet. Di tahun pertamanya menjelajah permukaan Mars, Curiosity Rover telah mengambil lebih dari 70.000 foto, menembakkan lebih dari 75.000 tembakan laser untuk memeriksa lapisan tanah dan bebatuan Mars, serta bergerak bermil-mil mengitari Si Planet Merah.
Image result for curiosity rover self portrait
Curiosity Rover Self Portrait (Source: news.nationalgeographic.com)
Tapi tahukah kalian? Pada 5 Agustus setiap tahunnya, Curiosity akan menjalankan sebuah tugas spesial. Robot kesepian ini akan menyanyikan lagu Happy Birthday untuk merayakan ulang tahunnya sendiri di Mars. Wah, kok bisa?
Ternyata, sebelum diluncurkan, para peneliti NASA sempat memprogram Curiosity untuk dapat menghasilkan serangkaian frekuensi yang meniru nada-nada dalam lagu Happy Birthday, lalu mengaturnya agar lagu tersebut dapat dikumandangkan di Mars secara teratur setiap tahunnya.
Sebenarnya, Curiosity tidak sepenuhnya sendirian di Mars. Ada rover-rover lain yang lebih dulu diluncurkan oleh NASA, yaitu MER-A dan MER B, masing-masing dinamakan Spirit dan Opportunity. Keduanya berhasil mendarat dengan sukses pada tahun 2004 silam. Pengoperasian Spirit harus dihentikan pada 2011 akibat “musim dingin Mars yang ekstrim membuat rover ini kehabisan energi”, sedangkan Opportunity masih beroperasi hingga sekarang. Sayangnya, perbedaan ketinggian dan jarak di antara mereka tidak memungkinkan Opportunity dan Curiosity untuk bertemu dalam jangka waktu dekat ini.
Walaupun demikian, tetap semangat ya, rover-rover di Mars!

Minggu, 19 Maret 2017

Sepucuk Surat dari Langit

SEPUCUK SURAT DARI LANGIT

Aku membenci anjing. Menurutku, anjing adalah hewan paling kejam di dunia ini. Ketika aku berumur empat tahun, kaki ayahku pernah terluka parah karena digigit anjing tetangga. Ayah harus dilarikan  ke rumah sakit dengan darah bercucuran menuruni betisnya. Pemandangan yang mengerikan, Ayah harus berjalan terpincang-pincang setelahnya. Sejak saat itu, aku mulai menyimpan dendam kepada hewan yang satu ini.
Suatu ketika, Ayah menghampiriku di sela waktu luangnya. “Apakah kamu masih membenci anjing?” tanyanya sambil meneguk secangkir kopi.
Aku hanya mengangguk dengan polosnya.
“Karena Ayah, ya?” tanyanya lagi.
Lagi-lagi kuanggukan kepalaku, kali ini disertai dengan balasan. “Aku benci kepada mereka yang pernah melukai Ayah.”
Ayah memandangiku sejenak sebelum melempar senyumnya. “Dapatkah kamu memaafkan ‘mereka’, Maruko?”
“Tidak mungkin!” sergahku. “Sekali benci tetap akan benci!”
“Oh? Tetapi Ayah tidak pernah menaruh dendam pada anjing, kau tahu.”
Pernyataan Ayah hari itu membuatku terperanjat. Bagaimana bisa ia memaafkan semudah itu? Apakah Ayah sama sekali tidak peduli? Setiap akhir pekan, kulihat ia masih bermain dengan anjing tetangga yang pernah menggigitnya itu. Aku selalu tak habis pikir dengan apa yang Ayah lakukan.
Di hari ulang tahunku yang kesembilan, tepatnya enam bulan setelah kandasnya pernikahan orang tuaku, aku dibelikan seekor anjing corgi oleh Ayah. Sungguh sebuah mimpi buruk yang tak pernah kunantikan. Langsung saja kutuangkan segala kekesalan dan murkaku kepada sang pemberi hadiah.
“Kita berdua tahu bahwa aku tidak menyukai anjing!” kataku dengan nafas yang menggebu-gebu. “Maksudnya apa, Ayah?”
“Ya, aku tahu,” jawab Ayah, nadanya tenang seperti biasanya. “Hanya saja, sejak kepergian ibumu, suasana rumah menjadi lebih sepi. Katakan, bukankah kamu menginginkan anggota keluarga baru?”
“Aku tidak pernah bilang demikian. Lagipula, dari semua hal yang ada di dunia ini, mengapa harus ‘anjing’?” Aku mendengus sembari memandangi anjing itu melompat-lompat ria mengejar seekor kupu-kupu di pekarangan rumah kami. Waktu itu musim semi, bunga-bunga mulai bermekaran dan menambah keindahan alam. Namun hatiku tetap saja tidak terhibur dengan kehadiran anjing itu. Ayah mengusulkan untuk menamainya Pochi. Acuh tak acuh, aku mengiyakan gagasannya.
Setiap kali aku pulang sekolah, Pochi selalu menghampiriku dan menggonggong ria. Wajah gembiranya membuatku ingin muntah, gonggongannya memekakkan telinga. Berulang kali aku menendangnya, ia selalu kembali padaku keesokan harinya. Beberapa kali aku mendapat teguran dari Ayah, namun aku tak pernah mengindahkannya.
Ketika aku berumur sepuluh tahun, aku dijauhi oleh teman-teman sekelas karena sebuah masalah kecil yang kuperbuat. Sejak saat itu, aku selalu menyendiri. Makan siang sendiri, belajar sendiri, membaca buku sendiri, tidak punya kelompok bermain. Tatapan tajam dan sinis selalu menghujaniku. Rasanya seperti dunia ini memutuskan untuk berpaling dan memusuhiku.
Di saat aku merasa putus asa, Pochi selalu berada di sampingku. Ia masih menyambut kepulanganku dari sekolah tiap harinya. Sama seperti biasanya, ia melompat-lompat di sekitarku dan menjulurkan lidahnya, memintaku untuk membelai kepalanya. Awalnya aku merasa terganggu oleh perilakunya. Ingin sekali menguncinya di dalam kandang untuk selama-lamanya. Apa boleh buat, tidak mungkin aku melakukan hal tersebut. Ayah dapat memarahiku berjam-jam karenanya.
Waktu terus berlalu, musim datang silih berganti. Aku masih diselimuti rasa bersalah yang teramat dalam, kesepian  senantiasa menghantuiku. Hingga tiba saatnya ketika aku tidak tahan lagi, aku sadar akan satu hal. Teman memang datang dan pergi, tetapi Pochi tidak. Tak peduli seberapa sering aku menendangnya, ia tetap akan menyambutku di pintu depan rumah, bergelut di antara kakiku, seakan-akan mencoba menghiburku. Lama-kelamaan, mataku mulai terbuka dan aku mencoba membuka hatiku. Perilakuku berubah 180 derajat. Tak pernah lagi aku menendangnya ataupun mengusirnya keluar. Aku belajar cara memandikan anjing, membersihkan kandang dan kotorannya. Aku ikut memberinya makan dan mengontrol pola makannya. Terkadang aku mengajarinya dengan lembut untuk tidak buang air kecil di dalam kamar. Sesekali kubelai kepala dan badannya, tak lupa juga memeluknya sebelum berangkat ke sekolah. Tak butuh waktu lama bagi Pochi dan aku untuk menjadi sahabat.
Dua tahun kemudian di musim panas, aku dan Ayah menyadari ada yang tidak beres dengan Pochi. Ia tidak selincah biasanya, wajahnya murung, nafasnya tak beraturan dan ia tampak kepanasan. Hari itu Pochi tidak keluar kandang, makanan pun tak disentuhnya sama sekali. Kami sudah memanggil dokter hewan untuk memeriksanya, tapi hasilnya nihil. Tampaknya, apapun yang kami lakukan semuanya sia-sia. Sedikit demi sedikit harapanku sirna. Pernah aku berpikir untuk menyerah. Namun terlintas pula dalam benakku bahwa Pochi tak pernah sekalipun menyerah dalam mengetuk pintu hatiku. Karena itu, aku bertekad untuk tidak mundur. Aku akan menyelamatkan Pochi, itulah yang selalu kukecamkan dalam hatiku setiap waktunya.
Tapi aku gagal, aku tak mampu menyelamatkan Pochi. Di awal musim gugur tahun itu, Pochi akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya setelah sempat mengerang kesakitan. Aku langsung mengunci diriku di dalam kamar selama sisa hari. Air mata menggenang dan mengalir dengan deras menuruni pipiku, tak terbendung. Teringat sudah hari-hari awal ketika aku memperlakukan Pochi dengan kasarnya. Menyesal, memang. Mengapa aku begitu bodoh saat itu…?
Malamnya, aku beranjak dari kasurku dan mengeluarkan secarik kertas. Kutuliskan sebuah surat yang  ditujukan untuk Pochi, kuceritakan betapa menyesalnya aku atas perbuatanku yang buruk, betapa sepinya rumah kami setelah kepergiannya, betapa rindunya aku akan gonggongannya, betapa berterima kasihnya aku akan kesetiaannya selama ini. Ini adalah ide yang gila, tetapi aku ingin sekali melakukannya.
Paginya,  aku meminta ayahku untuk membeli sebuah balon helium. Kuikat surat yang kutulis semalaman itu pada ujung tali balon dengan penuh hati-hati, lalu kulepaskan balon itu ke angkasa yang diselubungi awan gelap saat itu. Bersama dengan Ayah, kami memandangi balon itu hingga hilang dari pandangan.
“Ayah, Pochi ada di atas sana, bukan?”
Ayah menoleh dan mengelus-elus rambutku. “Ya, tentu saja.”
“Kira-kira, mampukah balon itu mengantar suratku padanya? Apakah suratku dapat mencapai tempat di mana Pochi sekarang berada? Apakah Pochi akan menerimanya? Apakah ia akan membacanya? Maukah ia membalasnya?”
Seperti biasanya, Ayah hanya mampu tersenyum. Ia menepuk-nepuk punggungku sebelum membawaku masuk ke dalam rumah.
Hujan deras turun mengguyur rumah kami malamnya. Petir menyambar-nyambar, suaranya menciutkan hati. Aku menemukan diriku tak bisa tidur. Mataku terbuka lebar, pikiran negatif merasuki otakku. Bagaimana nasib balon itu sekarang? Apakah ia masih mengembara di langit? Apakah ia berhasil lolos dari sambaran petir? Bagaimana bila ada burung-burung nakal yang mematuk balon itu hingga pecah? Jangan-jangan balon itu ditabrak pesawat terbang… Kucoba membuang semua pikiran itu jauh-jauh hingga aku jatuh tertidur karena kelelahan.
Di hari pertamaku bersekolah sejak kepergian Pochi, aku kembali menjadi seorang pemurung. Semuanya kulakukan sendiri tanpa ada yang mempedulikan. Kupikir semua orang membenciku, kupikir tak ada pintu maaf terbuka bagiku. Lagi-lagi aku salah. Seorang perempuan seumuran memutuskan untuk duduk bersamaku selama jam makan siang. Senyumnya hangat, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya menyejukkan hati. Kami langsung berteman dan untuk kedua kalinya aku belajar untuk membuka hatiku.
Aku dan perempuan itu kembali bertemu seusai sekolah. Karena rumah kami yang berdekatan, kami setuju untuk berjalan pulang bersama. Semula, kami hanya berbincang-bincang kecil sembari ditemani oleh tirai jingga yang menjuntai mewarnai langit. Pembicaraan kami terhenti ketika teman baruku ini menghentikan langkah kakinya demi memberitahuku sesuatu.
“Maruko, coba lihat ke langit!” serunya, jari telunjuknya menunjuk pada suatu kawasan di sebelah Barat kami. Awan-awan tampak berkumpul menutupi matahari yang siap tenggelam. Yang membuatku tercengang adalah bentuk kumpulan awan tersebut yang menyerupai seekor anjing dengan sepucuk surat di mulutnya. Anjing itu tampak bahagia, senyumnya disinari oleh secercah sinar surya. Kami menonton semuanya dalam keheningan, terkagum-kagum dengan apa yang tengah kami saksikan.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya seusai matahari terbenam. “Sedari tadi kau tak bisa berhenti tersenyum, apa pipimu tidak sakit?”
“Hmm… Ya, aku baik-baik saja.”
“Mengapa kau tampak begitu gembira? Apa yang terjadi padamu?”
“Tidak ada. Tidak terjadi apa-apa.”
“Maruko, ayo ceritakan! Jangan membuatku penasaran begitu.”
Tawa kami menderai di tengah menguningnya daun-daun di sepanjang jalan. Daun-daun yang gugur jatuh berserakan di tanah, menghiasi indahnya jalan pulang menuju rumah kami.
Terima kasih, Pochi.

(Inspired by Skysky, Prema Jatukanyaprateep)

Salju

Salju
Segumpal awan kelabu di langit menutupi mentari. Aku haus akan sinar dan terang. Memikirkan bahwa beliau telah tiada, memikirkan bahwa aku sendirian di dunia ini. Pena itu jatuh menggelinding, namun aku tak berusaha mengambilnya. Selembar kertas kosong di hadapanku, bukanlah apa-apa. Yang apa-apa adalah perasaanku ketika ayunan pen itu berhasil menggoreskan tinta di atas lembar tak bernoda itu. Gelap, aku meraba-raba, tak dapat menemukan apapun. Seseorang berdiri di sana, tersenyum. Aku tak dapat menggapainya.
‘Ibu…’
Ia menghilang, lalu aku terbangun dari mimpi buruk, kembali ke kenyataan yang sama buruknya pula.
Bumi sungguh menakjubkan. Ia berotasi dan mengelilingi mentari di waktu yang sama. Dunia di dalamnya juga sungguh menakjubkan untuk dapat mempertemukan kami berdua. Di musim dingin yang hangat ini, kau menghajarku dengan kata-kata dari mulut tajam nan lembutmu. Kau menghujaniku dengan paku-paku keberanian. Kau menghangatkanku dengan batu es yang kau lempari.
Kau membawaku ke dalam dunia yang penuh warna. Walaupun putih mendominasi setiap hal yang kulihat, kau mewarnainya, menghapuskan seluruh monokrom ini. Walau semanggi itu terperangkap dalam kolam yang beku, kau memberiku alasan untuk hidup, meski kau sendiri tak memilikinya. Aku ingin menjadi alasanmu… bolehkah?
Pahlawan tragis adalah sebutan darimu untukku. Kau mengubah hidup tragisku menjadi tragedi beruntun. Kau memberi judul pada sebuah cerita yang tak kuketahui. Kau juga menyusahkan serta membebaniku dengan sejuta permintaanmu. Kau melontarkanku dengan kutipan Ibuku, kemudian mengingatkanku akan beliau. Kau memang jahat.
Kau mendesakku hingga ke sudut, aku tak mampu berkutik. Yang bisa kulakukan adalah memenuhinya dengan menulis. Aku tak dapat melupakan saat ketika kau mengurai duniaku lewat suaramu.
Aku membiarkan diriku jatuh ke dalam api cemburu ketika kau bersama dengan yang lain. Oh ya, kau juga manusia. Aku tak dapat mengekangmu dalam kandang dunia yang sempit ini.
Lalu apa maksudmu dengan pernyataan, “Jangan takut, aku di sini!”? Omong kosong, ucapan jempol belaka. “Jangan pergi, jangan tinggalkan aku sendiri.” Bagaimana bisa kau mengucapkan kedua kalimat itu di waktu yang sama?
Malam kunang-kunang di tepi sungai beku, kau menerangi  langkahku seraya aku menerangi langkahmu. Dalam kekelaman berkepanjangan ini, kau membangunkanku dari mimpi buruk tak berujung. Kau membebaskanku dari ikatan takdir, yang katanya tak dapat diputuskan.
Kau membawaku melihat kembang api, tetapi kau membanjiri dadaku dengan air matamu dan membuatku berjanji padamu. Walau dunia ini keliru sekalipun, aku tetap merasakan lembutnya bibir merah pucatmu di bawah kilau rasi bintang Sagitarius yang membentang di atas kita. Perasaan kitalah yang membuat bunga-bunga itu bermekaran di musim dingin.
“Jangan tinggalkan aku sendiri.” Kembali kau mengucapkan kata-kata itu di depanku.
“Jangan takut, aku di sini!” balasku, hanya mengutipmu.
Pada akhirnya, aku tak mampu berada di sisimu setiap saat, kata-kataku lah yang omong kosong.
Terkadang aku ingin sekali menuliskan ‘aku merindukanmu’ di atas sebuah batu dan melemparkannya tepat ke wajahmu agar kau mengerti sebetapa sakitnya kehilangan dirimu.
Musim mati satu demi satu. Dunia ini kembali merenggut matahari dalam hidupku. Apakah salah bagi anak-anak yang haus akan kasih sayang untuk hidup dalam dunia ini? Hujan salju yang menjadi satu-satunya saksi mata kisah kami hanya bisa diam mengunci mulutnya, bungkam.
Ada apa dengan pernyatan, “Lihat! Kita akan tetap bersama-sama melalui tebal dan tipis, menuju tempat di mana kita menyebrangi bukit ini.” ?
Pada akhirnya, semuanya berubah menjadi abu yang hilang tertiup angin.
Pada akhirnya, aku takkan mampu meniti jalan yang sama denganmu di sisiku lagi.
Pada akhirnya, aku kehilangan seseorang yang kusayangi.
Lagi.

Kenangan Jingga

KENANGAN JINGGA

cropped-img_20150720_185543.jpgFandom: Tokyo Ghoul
Pairing: Kaneki/Touka, Haise/Touka
Disclaimer: Semua karakternya adalah milik penulis asli
Kenangan Jingga
          Musim gugur datang dan dedaunan mulai berganti warna. Butuh waktu sebentar saja sebelum jalanan dipenuhi oleh daun warna-warni. Berjalan menuju pusat kota, aku berhenti di depan sebuah kafe kopi kecil. Ketika kubuka pintunya, sebuah lonceng berbunyi dan harum kopi tercium lezat. Yang lebih penting lagi, sapaan dari seorang barista cantik adalah hal yang paling kuinginkan dan kurindukan.
“Selamat pagi,” sapanya dengan senyum paginya. Kulangkahkan kakiku masuk dan mengambil tempat duduk tepat di depan counter-nya. Tatapanku tak dapat lepas dari wajah mungil itu. Aku berani bertaruh bahwa memandangi wajahnya sepanjang hari tak akan pernah membuatku bosan.
“Kau mau pesan apa?” tanyanya pelan sembari tangannya meraih sebuah cangkir putih mengkilap dari etalase di belakangnya.
“Yang biasa.” Kuambil beberapa buku dari rak tua di salah satu sudut ruangan sambil mengunci tatapanku padanya yang tengah menuang secangkir air panas di atas biji kopi, membentuk sebuah spiral. Kopi buatannya adalah kopi terbaik yang pernah kuminum sejauh ini. Dari kejauhan, aku dapat melihatnya menuangkan kopi itu ke cangkir dan memberiku sebuah senyum. Sebuah senyum tipis nan sedih yang ia lemparkan setiap kali mata kami bertemu.
Gadis berambut ungu muda pendek itu adalah seorang pelayan sekaligus manajer dari kafe tersebut. Tak pernah ada keberanian yang timbul dalam diriku untuk menanyakan namanya, kami benar-benar bersikap asing satu sama lain. Tapi satu hal, setiap kali aku melihatnya, sebuah perasaan semacam déjà vu selalu muncul dalam benakku, seperti aku pernah bertemu dengannya jauh sebelum hari di mana kami pertama kali bertemu, atau seperti aku pernah memiliki seseorang yang sangat cantik di hidupku sebelumnya.
Jujur, tidak ada satupun memori yang pernah terlintas di pikiranku tentang bertemu dengannya. Pada akhirnya, aku hanyalah sebuah raga tanpa memori, jiwa kedua yang berdiam dalam tubuh seseorang. Terkadang aku berpikir, bilamana seseorang di dunia ini membenci kehadiranku karena aku menyingkirkan ‘orang’ yang hidup di tubuh ini sebelumnya.
Ini bukan pilihanku untuk terkena amnesia. Terlalu takut untuk mengetahui masa laluku, yang bisa kulakukan hanyalah memendamnya, berharap untuk dapat selalu menunda hari di mana kenangan lama itu datang dan memudarkan diriku yang sekarang.
Baru saja aku duduk setelah mengambil beberapa buku, pandanganku menjadi kabur dan tiba-tiba interior kafe seakan berubah menjadi kafe lainnya. Ada seorang pria paruh baya dan anggota staf lainnya berdiri di sekitarku. Salah satu dari mereka memiliki rambut ungu dan ia tampak seperti versi lebih mudanya barista cantik itu. Kukedipkan mataku berulang kali, tak percaya dengan apa yang terjadi. Gadis itu memanggil nama seseorang, sebuah nama yang tentunya bukan milikku. Wajahnya terlihat sedih dan penuh dengan emosi terpendam.
Mulutku terbuka, mencoba berkata-kata walaupun tidak ada suara apapun yang keluar darinya. Yang terjadi hanyalah pendanganku yang kembali kabur dan ketika aku sadar, secara perlahan gambaran gadis yang berulang kali memanggil nama asing itu berubah menjadi dirinya yang sekarang. Aku kembali ke realita, dan di depanku berdirilah barista itu dengan khawatirnya setelah melihatku hampir kehilangan kesadaran.
Sebuah luapan kenangan lama baru saja mengalir padaku. Sebuah flashback. Mengapa, sebuah kenangan pahit yang mungkin pernah kualami ada hubungannya dengan gadis itu? Bahkan ekspresi yang ia lukiskan sekarang adalah ekspresi yang sama dengan yang ditunjukkan oleh gadis di kilas balik singkat itu.
Kakiku membawa tubuhku melangkah menuju muka pintu kafe dan tanganku bergerak dengan sendirinya membuka gagang pintu, sementara mulutku memilih untuk tidak mengucapkan sepatah kata apapun, mengabaikan seseorang yang terus memanggilku di belakang. Baru saja aku hendak meninggalkan kafe itu, sebuah sentuhan hangat yang berubah menjadi genggaman erat berhasil menggapai tangan kananku yang terayun bebas. Masih tenggelam dalam keterkejutan mendalam, sontak saja kutarik tanganku dari genggamannya dan berteriak ,”Lepaskan, Touka-chan!
Layaknya seorang pengecut, berlarilah aku keluar di tengah keheningan. Tak pernah kusadari bahwa baru saja aku memanggil namanya yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Aku hanya merasa seperti lidahku telah diprogram untuk memanggil namanya sejak diriku yang lalu pertama kali bertemu dengannya, dan… jatuh cinta padanya.
Apakah di dunia ini ada suatu hal yang disebut takdir? Bagaikan dua jiwa yang ditakdirkan untuk terjalin dalam suatu ikatan bernama red string of fate ? Akankah perasaan tinggal atau pergi, seperti warna dedaunan di luar yang terus berubah warna seiring dengan bergantinya musim?
Bila ya, lalu mengapa aku tak dapat mengingat apapun tentangnya?




Catatan :
  • Déjà vu
Sebuah perasaan ketika seseorang yakin bahwa ia pernah mengalami/menyaksikan suatu kejadian sebelumnya, dan ia merasa seperti kejadian itu kembali terulang lagi.
  • Red string of fate
Sebuah mitos yang mengatakan bahwa Tuhan mengikat seutas benang merah tak kasat mata di jari kelingking dari sepasang orang yang ditakdirkan untuk bertemu satu sama lain dalam situasi tertentu, ataupun saling membantu dengan cara tertentu, terlepas dari waktu, tempat, maupun keadaan. Menurut mitos, benang ini dapat regang ataupun kusut, tetapi tidak akan pernah putus.

Apakah Suara Punya Bentuk?

THE SHAPE OF VOICE, KISAH SEORANG GADIS TUNA RUNGU DAN PEMBULLY-NYA

Dilihat dari luar, Nishimiya Shoko mungkin tampak seperti gadis pada umumnya. Anggota tubuhnya lengkap, ia dapat berjalan, berlari, melihat, tersenyum… Namun, siapa yang menyangka bahwa di balik senyumnya yang manis itu, Shoko ternyata harus memendam pahitnya menjadi seorang tuna rungu.
Koe no Katachi (聲の形) atau The Shape of Voice adalah sebuah manga series yang ditulis oleh Yoshitoki Oima. Komik Jepang bergenre slice of life drama ini menceritakan tentang Ishida Shoya, seorang anak SD bandel yang suatu hari, kelasnya mendapat seorang murid perempuan baru. Gadis itu tak lain adalah Shoko. Karena ketidaksempurnaannya, Shoko harus memperkenalkan dirinya di depan kelas lewat media kertas. Dari sanalah anak-anak di kelas tersebut mengetahui bahwa Shoko adalah seorang bisu tuli sejak lahir.
Bukannya diperlakukan dengan baik, Shoko malah di-bully habis-habisan. Diketuai oleh Ishida, teman-teman di kelasnya pun tak habis akal untuk terus merendahkan Shoko. Dimulai dari mengejek suara nyanyiannya, menyemprotnya dengan air, mencoret-coret mejanya, hingga melepas paksa alat bantu dengar Shoko dari telinganya dan membuangnya jauh-jauh. Menyakitkan memang, Shoko mungkin punya hak dari seluruh dunia untuk mengamuk.
Nyatanya ia tidak. Ia malah mengajak Ishida untuk berteman dengannya menggunakan bahasa isyarat (buku yang ia gunakan untuk berkomunikasi direbut oleh Ishida saat itu). Permintaan itu tidak disambut hangat oleh Ishida yang tak mengerti dengan maksud Shoko. Ia pun membuang bukunya ke dalam sungai dan membiarkan Shoko mencarinya sendiri, bahkan menertawainya.
Hari-hari menyenangkan bagi Ishida itu pun berlalu. Ibunya Shoko yang curiga karena alat bantu dengar anaknya terus-terusan hilang akhirnya melapor ke sekolah. Guru-guru mulai melakukan penyelidikan dan bertanya apabila ada yang tahu akan sesuatu mengenai Shoko. Teman-teman Ishida silih berganti memberikan pernyataan, semua isinya menyalahkan Ishida. Terbongkarlah ulah Ishida selama ini terhadap Shoko. Meski Ishida mencoba membela dirinya dengan mengatakan bahwa teman-temannya juga ikut mem-bully Shoko, usahanya tetap sia-sia. Oleh guru dan semua temannya, nama Ishida dicap jelek. Tak butuh waktu lama hingga Ishida kehilangan semua temannya.
Beda halnya dengan Shoko, gadis ini tetap bersikap baik pada Ishida yang menanggapinya acuh tak acuh. Setiap pagi ia melihatnya mengganti air vas bunga dan membersihkan mejanya dari coretan teman sekelasnya. Semuanya dijalani dengan senyum, dan hal ini membuat Ishida kesal. Keduanya bahkan sempat terlibat perkelahian. Ishida menginginkan Shoko untuk mengutarakan apa yang ia rasakan selama ini di balik senyumannya itu. Shoko yang tak mampu  mengatakan apapun hanya bisa menampar dan membalas balik pukulan Ishida. Sebulan kemudian, Ibu Shoko terpaksa memindahkan anaknya keluar dari sekolah tersebut.
Setelah Shoko keluar, ada satu hal yang akhirnya disadari Ishida. Selama ini, setiap pagi, ternyata Shoko bukan membersihkan mejanya sendiri dari coretan. Ia membersihkan meja Ishida yang penuh dengan sebutan-sebutan kejam teman sekelasnya. Kini ketika Shoko sudah pergi dan tidak ada siapapun lagi yang membersihkan mejanya, semuanya pun menjadi jelas bagi Ishida.
Sejak saat itu, hidup Ishida selalu digeluti dengan rasa bersalah. Ia tak punya teman, nama baiknya sudah tercoreng sebagai seorang pembully. Ishida memutuskan untuk menutup dirinya dari orang lain hingga ia duduk di kursi SMA sekalipun. Kehilangan semangat hidup, ia berniat mengakhiri semuanya untuk mengurangi beban ibunya Namun, sebelum melakukan bunuh diri, Ishida akhirnya memberanikan diri untuk mencari Shoko lagi demi meminta maaf atas perbuatannya. Berhasil menemuinya di sekolah Shoko, Ishida malah tidak sengaja mengajak Shoko untuk menjadi temannya dengan menggunakan bahasa isyarat, persis seperti yang dilakukan Shoko ketika mereka masih SD. Memang, selama ini Ishida juga tengah belajar bahasa isyarat secara diam-diam. Yang tak diduga olehnya, Shoko menerima permintaan itu dengan meraih tangannya, sedikit malu-malu.
Hari itu, Ishida tak jadi bunuh diri dan memutuskan untuk terus hidup agar dapat menebus kesalahannya. Ia menjadi lebih sering bertemu dengan Shoko walaupun harus tetap menerima penolakan dari ibunya. Ishida kemudian membantu Shoko untuk terhubung kembali dengan teman-teman SD-nya dulu yang tak mampu ia jadikan teman. Berbagai subplot pun mulai bermunculan, di antaranya tentang hubungan Ishida dan Shoko dengan teman-teman lamanya, perjalanan hidup Ishida yang tak hanya belajar menebus kesalahannya, tetapi juga belajar untuk memaafkan diri dan orang lain, serta apa yang selama ini Shoko pikirkan dan rasakan mengenai hidupnya.
Semula, manga Koe no Katachi diterbitkan sebagai sebuah one-shot pada Februari 2011. Atas kesuksesan dan dukungan yang diraih dari one-shot tersebut, penulisnya kemudian memulai serialisasi penuh sejak Agustus 2013 hingga November 2014, menghasilkan 7 volume yang diterbitkan oleh Kodansha.
Image result for koe no katachi manga cover
Volume 1 – 6

Image result for koe no katachi manga cover 7
Volume 7 yang merupakan volume terakhir

Berkat tema yang diangkat, Koe no Katachi telah ditinjau kembali dan didukung oleh Japanese Federation of the Deaf, organisasi nasional tuna rungu di Jepang yang juga merupakan anggota dari WFD (World Federation of the Deaf). 
Pada Maret 2014, komik ini terjual hingga 700 ribu kopi, membuatnya masuk ke dalam nominasi Manga Taisho, yaitu salah satu manga award tahunan bergengsi di Jepang.

Image result for koe no katachi anime
Sebuah adaptasi anime movie yang diproduksi oleh Kyoto Animation dari manga ini juga telah dirilis di Jepang pada 17 September 2016 lalu. Film yang ditulis oleh Reiko Yoshida dan disutradarai oleh Naoko Yamada ini berhasil mencapai peringkat dua di Box Office Jepang dan memenangi sejumlah penghargaan, seperti pada 40th Japan Academy Prize untuk Excellent Animation of the Year dan Anime of the Year untuk kategori film di Tokyo Anime Award Festival. Blu-Ray & DVD juga dijadwalkan untuk rilis pada 17 Mei 2017 nanti.

Intinya, The Shape of Voice tidak hanya menceritakan tentang pembully-an saja. Ya, bully memang kejam, tetapi sebenarnya alurnya lebih dalam dari itu. Ada penyesalan, rasa bersalah, rasa gagal akan segalanya, rasa tak diinginkan, pengkhianatan, serba salah, kekecewaan, dan kemuakan akan hidup yang akhirnya mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Plotnya seakan memberitahu bahwa lingkungan di sekitar kita bukanlah selalu yang terbaik bagi kita. Selain itu, peran dan kasih sayang ibu kepada anaknya juga cukup menonjol di dalam cerita, khususnya Ibunya Shoko dan Ishida.
Menyimpan segudang pesan moral, Koe no Katachi memang pantas untuk dimasukkan ke daftar Must Read dan Must Watch. 
Lalu, bagaimana? Apakah kalian tertarik untuk membaca komiknya? Atau menonton filmnya? Atau mungkin keduanya…?
Apapun jawabannya tetap have fun ya 🙂

Kisah the Summer Triangle

KETIKA BINTANG MUSIM PANAS PUNYA CERITA

Bagi kalian yang menyukai hal-hal berbau astronomi atau punya hobi stargazing, pastinya sudah tak asing lagi dengan istilah ‘Summer Triangle’ atau Segitiga Musim Panas. Singkatnya, Segitiga Musim Panas adalah sebuah asterism (pola bintang yang nampak dari bumi) 3 bintang terang, yaitu Altair dari konstelasi AquilaVega dari konstelasi Lyra, dan Deneb dari konstelasi Cygnus, yang apabila dihubungkan akan membentuk garis segitiga imajiner. Sesuai dengan namanya, peristiwa penampakan bintang-bintang ini hanya berlangsung selama musim panas. Tetapi tak perlu kecewa! Di negara-negara tropis seperti Indonesia sekalipun, Segitiga Musim Panas juga dapat diamati sekitar bulan Juli hingga Oktober. Bila kalian berada di tempat yang tepat dan jauh dari ramainya cahaya perkotaan, gugusan bintang ini dapat dilihat dengan mata telanjang, lho!
072616_celestial_news_t640
Summer Triangle biasa dijadikan petunjuk bahwa musim panas akan segera tiba. (Picture Source: steamboattoday.com)
Selain dipenuhi dengan planet, bintang, dan benda-benda langit lainnya, alam semesta ini juga menyimpan segudang cerita. Tahukah kalian, ketiga bintang yang kita bahas ini ternyata punya kisah mitologi yang menarik. Yuk, kita simak beberapa cerita populer mereka:
Wujud Kesuksesan Zeus
Rasi bintang Aquila (elang) dan Cygnus (angsa) erat dihubungkan dengan sebuah mitologi Yunani kuno. Dewa Zeus yang jatuh cinta pada Dewi Nemesis harus menelan pahit lantaran cintanya berujung tak terbalas. Tapi Zeus tak habis akal. Ia mengubah dirinya menjadi seekor angsa dan membujuk Aphrodite untuk mengambil wujud seekor elang yang berpura-pura mengejarnya. Sang Dewi Nemesis yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi iba pada sang ‘angsa’ dan memutuskan untuk melindunginya dari si ‘elang’. Tiba-tiba, si angsa kembali ke wujud aslinya, dan Nemesis pun menemukan dirinya berada dalam pelukan Dewa Zeus. Untuk merayakan keberhasilannya, Zeus menempatkan figur seekor angsa dan elang di langit yang nantinya dikenal sebagai konstelasi Aquila dan Cygnus.
Wah, sebenernya Zeus itu dewa langit atau dewa modus sih?? hahahaha /plak/
Tiga Sahabat Karib 
Yang ini juga berasal dari mitologi Yunani. Diceritakan bahwa Altair, Vega, dan Deneb adalah sahabat. Vega yang berasal dari rasi bintang Lyra, yaitu sejenis harpa yang dimainkan oleh Opheus, digambarkan sebagai sosok yang cerdas. Sementara itu, lagi-lagi Deneb digambarkan sebagai seekor angsa yang cantik. Konon tariannya dapat memikat hati dewa-dewi. Altair yang sering diasosiasikan dengan burung elang karena rasi bintangnya, merupakan sosok yang kuat. Dialah yang menjadi pelindung bagi kedua sahabatnya itu.
Kisah Cinta LDR antara Altair dan Vega
Nah, ini yang paling terkenal. Berasal dari Legenda Tiongkok yang dibawa ke Jepang, dikisahkan bahwa Orihime (Vega) adalah putri dari Raja Langit Tentei. Ia pandai menenun dan hasil tenunannya diberikan kepada ayahnya. Hikoboshi (Altair) merupakan seorang penggembala sapi yang giat. Suatu hari ia bertemu dengan Orihime dan keduanya langsung jatuh cinta. Berhubung Hikoboshi adalah seorang yang rajin, maka Sang Raja Langit mengijinkan mereka untuk menikah.
Setelah menikah, pasangan ini hidup bahagia. Saking bahagianya, Orihime kemudian meninggalkan hobi menenunnya itu dan Hikoboshi juga sudah tidak menggembala sapi lagi. Si Raja Langit yang tak lagi menerima tenunan putrinya itu pun menjadi marah dan memutuskan untuk menceraikan mereka. Orihime dan Hikoboshi akhirnya dipisahkan oleh Sungai Amanogawa yang merupakan Galaksi Bima Sakti itu sendiri.
Orihime yang tak mampu menerima nasibnya lalu memohon kepada ayahnya supaya mereka dapat bertemu. Atas ketidaktegaannya, Tentei pun mengijinkan mereka untuk bertemu, dengan syarat mereka hanya boleh bertemu setahun sekali, yaitu pada hari ketujuh pada bulan ketujuh. Hanya pada hari itulah sekumpulan burung kasasagi (burung magpie) akan datang menghubungkan Sungai Amanogawa menjadi sebuah jembatan tempat Orihime dan Hikoboshi dapat bertemu.
Bila pada hari yang ditentukan itu turun hujan, burung-burung tersebut tidak dapat datang. Akibatnya, Orihime harus menunggu 365 hari lagi untuk bertemu dengan pujaan hatinya itu.
e9244e3f3b0931bc83bb5ccc49ff3f68
Hikoboshi & Orihime (Source: liliacerise.wordpress.com)
Di Jepang sendiri, peristiwa reunian antara Orihime dan Hikoboshi dirayakan dalam sebuah festival bernama Tanabata. Dalam festival musim panas ini, masyarakat dari berbagai kalangan datang mengenakan yukata (sejenis pakaian tradisional Jepang) dan menuliskan permohonan mereka pada secarik kertas bernama Tanzaku. Nantinya, tanzaku yang sudah ditulis akan digantung pada bambu, membentuk pohon harapan.
mengenal-segitiga-musim-panas-3
Perayaan Festival Tanabata (Source: kafeastronomi.com)
Festival Tanabata digelar di beberapa tempat di Jepang pada hari ketujuh, bulan ketujuh setiap tahunnya, yaitu 7 Juli. Salah satu tempat paling populer dan ramai dirayakannya Tanabata adalah Sendai, Miyagi. Di sana, festivalnya dirayakan satu bulan lebih lambat, yaitu antara tanggal 6 hingga 8 Agustus. Tapi tetap saja, hal itu tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk turut meramaikan Tanabata di kota mereka.
Demikianlah kisah dari tiga bintang musim panas kita kali ini. Nah, apakah kalian tertarik untuk mengamati langit malam di bulan Agustus nanti?