Minggu, 19 Maret 2017

Kenangan Jingga

KENANGAN JINGGA

cropped-img_20150720_185543.jpgFandom: Tokyo Ghoul
Pairing: Kaneki/Touka, Haise/Touka
Disclaimer: Semua karakternya adalah milik penulis asli
Kenangan Jingga
          Musim gugur datang dan dedaunan mulai berganti warna. Butuh waktu sebentar saja sebelum jalanan dipenuhi oleh daun warna-warni. Berjalan menuju pusat kota, aku berhenti di depan sebuah kafe kopi kecil. Ketika kubuka pintunya, sebuah lonceng berbunyi dan harum kopi tercium lezat. Yang lebih penting lagi, sapaan dari seorang barista cantik adalah hal yang paling kuinginkan dan kurindukan.
“Selamat pagi,” sapanya dengan senyum paginya. Kulangkahkan kakiku masuk dan mengambil tempat duduk tepat di depan counter-nya. Tatapanku tak dapat lepas dari wajah mungil itu. Aku berani bertaruh bahwa memandangi wajahnya sepanjang hari tak akan pernah membuatku bosan.
“Kau mau pesan apa?” tanyanya pelan sembari tangannya meraih sebuah cangkir putih mengkilap dari etalase di belakangnya.
“Yang biasa.” Kuambil beberapa buku dari rak tua di salah satu sudut ruangan sambil mengunci tatapanku padanya yang tengah menuang secangkir air panas di atas biji kopi, membentuk sebuah spiral. Kopi buatannya adalah kopi terbaik yang pernah kuminum sejauh ini. Dari kejauhan, aku dapat melihatnya menuangkan kopi itu ke cangkir dan memberiku sebuah senyum. Sebuah senyum tipis nan sedih yang ia lemparkan setiap kali mata kami bertemu.
Gadis berambut ungu muda pendek itu adalah seorang pelayan sekaligus manajer dari kafe tersebut. Tak pernah ada keberanian yang timbul dalam diriku untuk menanyakan namanya, kami benar-benar bersikap asing satu sama lain. Tapi satu hal, setiap kali aku melihatnya, sebuah perasaan semacam déjà vu selalu muncul dalam benakku, seperti aku pernah bertemu dengannya jauh sebelum hari di mana kami pertama kali bertemu, atau seperti aku pernah memiliki seseorang yang sangat cantik di hidupku sebelumnya.
Jujur, tidak ada satupun memori yang pernah terlintas di pikiranku tentang bertemu dengannya. Pada akhirnya, aku hanyalah sebuah raga tanpa memori, jiwa kedua yang berdiam dalam tubuh seseorang. Terkadang aku berpikir, bilamana seseorang di dunia ini membenci kehadiranku karena aku menyingkirkan ‘orang’ yang hidup di tubuh ini sebelumnya.
Ini bukan pilihanku untuk terkena amnesia. Terlalu takut untuk mengetahui masa laluku, yang bisa kulakukan hanyalah memendamnya, berharap untuk dapat selalu menunda hari di mana kenangan lama itu datang dan memudarkan diriku yang sekarang.
Baru saja aku duduk setelah mengambil beberapa buku, pandanganku menjadi kabur dan tiba-tiba interior kafe seakan berubah menjadi kafe lainnya. Ada seorang pria paruh baya dan anggota staf lainnya berdiri di sekitarku. Salah satu dari mereka memiliki rambut ungu dan ia tampak seperti versi lebih mudanya barista cantik itu. Kukedipkan mataku berulang kali, tak percaya dengan apa yang terjadi. Gadis itu memanggil nama seseorang, sebuah nama yang tentunya bukan milikku. Wajahnya terlihat sedih dan penuh dengan emosi terpendam.
Mulutku terbuka, mencoba berkata-kata walaupun tidak ada suara apapun yang keluar darinya. Yang terjadi hanyalah pendanganku yang kembali kabur dan ketika aku sadar, secara perlahan gambaran gadis yang berulang kali memanggil nama asing itu berubah menjadi dirinya yang sekarang. Aku kembali ke realita, dan di depanku berdirilah barista itu dengan khawatirnya setelah melihatku hampir kehilangan kesadaran.
Sebuah luapan kenangan lama baru saja mengalir padaku. Sebuah flashback. Mengapa, sebuah kenangan pahit yang mungkin pernah kualami ada hubungannya dengan gadis itu? Bahkan ekspresi yang ia lukiskan sekarang adalah ekspresi yang sama dengan yang ditunjukkan oleh gadis di kilas balik singkat itu.
Kakiku membawa tubuhku melangkah menuju muka pintu kafe dan tanganku bergerak dengan sendirinya membuka gagang pintu, sementara mulutku memilih untuk tidak mengucapkan sepatah kata apapun, mengabaikan seseorang yang terus memanggilku di belakang. Baru saja aku hendak meninggalkan kafe itu, sebuah sentuhan hangat yang berubah menjadi genggaman erat berhasil menggapai tangan kananku yang terayun bebas. Masih tenggelam dalam keterkejutan mendalam, sontak saja kutarik tanganku dari genggamannya dan berteriak ,”Lepaskan, Touka-chan!
Layaknya seorang pengecut, berlarilah aku keluar di tengah keheningan. Tak pernah kusadari bahwa baru saja aku memanggil namanya yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Aku hanya merasa seperti lidahku telah diprogram untuk memanggil namanya sejak diriku yang lalu pertama kali bertemu dengannya, dan… jatuh cinta padanya.
Apakah di dunia ini ada suatu hal yang disebut takdir? Bagaikan dua jiwa yang ditakdirkan untuk terjalin dalam suatu ikatan bernama red string of fate ? Akankah perasaan tinggal atau pergi, seperti warna dedaunan di luar yang terus berubah warna seiring dengan bergantinya musim?
Bila ya, lalu mengapa aku tak dapat mengingat apapun tentangnya?




Catatan :
  • Déjà vu
Sebuah perasaan ketika seseorang yakin bahwa ia pernah mengalami/menyaksikan suatu kejadian sebelumnya, dan ia merasa seperti kejadian itu kembali terulang lagi.
  • Red string of fate
Sebuah mitos yang mengatakan bahwa Tuhan mengikat seutas benang merah tak kasat mata di jari kelingking dari sepasang orang yang ditakdirkan untuk bertemu satu sama lain dalam situasi tertentu, ataupun saling membantu dengan cara tertentu, terlepas dari waktu, tempat, maupun keadaan. Menurut mitos, benang ini dapat regang ataupun kusut, tetapi tidak akan pernah putus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar