Minggu, 19 Maret 2017

Salju

Salju
Segumpal awan kelabu di langit menutupi mentari. Aku haus akan sinar dan terang. Memikirkan bahwa beliau telah tiada, memikirkan bahwa aku sendirian di dunia ini. Pena itu jatuh menggelinding, namun aku tak berusaha mengambilnya. Selembar kertas kosong di hadapanku, bukanlah apa-apa. Yang apa-apa adalah perasaanku ketika ayunan pen itu berhasil menggoreskan tinta di atas lembar tak bernoda itu. Gelap, aku meraba-raba, tak dapat menemukan apapun. Seseorang berdiri di sana, tersenyum. Aku tak dapat menggapainya.
‘Ibu…’
Ia menghilang, lalu aku terbangun dari mimpi buruk, kembali ke kenyataan yang sama buruknya pula.
Bumi sungguh menakjubkan. Ia berotasi dan mengelilingi mentari di waktu yang sama. Dunia di dalamnya juga sungguh menakjubkan untuk dapat mempertemukan kami berdua. Di musim dingin yang hangat ini, kau menghajarku dengan kata-kata dari mulut tajam nan lembutmu. Kau menghujaniku dengan paku-paku keberanian. Kau menghangatkanku dengan batu es yang kau lempari.
Kau membawaku ke dalam dunia yang penuh warna. Walaupun putih mendominasi setiap hal yang kulihat, kau mewarnainya, menghapuskan seluruh monokrom ini. Walau semanggi itu terperangkap dalam kolam yang beku, kau memberiku alasan untuk hidup, meski kau sendiri tak memilikinya. Aku ingin menjadi alasanmu… bolehkah?
Pahlawan tragis adalah sebutan darimu untukku. Kau mengubah hidup tragisku menjadi tragedi beruntun. Kau memberi judul pada sebuah cerita yang tak kuketahui. Kau juga menyusahkan serta membebaniku dengan sejuta permintaanmu. Kau melontarkanku dengan kutipan Ibuku, kemudian mengingatkanku akan beliau. Kau memang jahat.
Kau mendesakku hingga ke sudut, aku tak mampu berkutik. Yang bisa kulakukan adalah memenuhinya dengan menulis. Aku tak dapat melupakan saat ketika kau mengurai duniaku lewat suaramu.
Aku membiarkan diriku jatuh ke dalam api cemburu ketika kau bersama dengan yang lain. Oh ya, kau juga manusia. Aku tak dapat mengekangmu dalam kandang dunia yang sempit ini.
Lalu apa maksudmu dengan pernyataan, “Jangan takut, aku di sini!”? Omong kosong, ucapan jempol belaka. “Jangan pergi, jangan tinggalkan aku sendiri.” Bagaimana bisa kau mengucapkan kedua kalimat itu di waktu yang sama?
Malam kunang-kunang di tepi sungai beku, kau menerangi  langkahku seraya aku menerangi langkahmu. Dalam kekelaman berkepanjangan ini, kau membangunkanku dari mimpi buruk tak berujung. Kau membebaskanku dari ikatan takdir, yang katanya tak dapat diputuskan.
Kau membawaku melihat kembang api, tetapi kau membanjiri dadaku dengan air matamu dan membuatku berjanji padamu. Walau dunia ini keliru sekalipun, aku tetap merasakan lembutnya bibir merah pucatmu di bawah kilau rasi bintang Sagitarius yang membentang di atas kita. Perasaan kitalah yang membuat bunga-bunga itu bermekaran di musim dingin.
“Jangan tinggalkan aku sendiri.” Kembali kau mengucapkan kata-kata itu di depanku.
“Jangan takut, aku di sini!” balasku, hanya mengutipmu.
Pada akhirnya, aku tak mampu berada di sisimu setiap saat, kata-kataku lah yang omong kosong.
Terkadang aku ingin sekali menuliskan ‘aku merindukanmu’ di atas sebuah batu dan melemparkannya tepat ke wajahmu agar kau mengerti sebetapa sakitnya kehilangan dirimu.
Musim mati satu demi satu. Dunia ini kembali merenggut matahari dalam hidupku. Apakah salah bagi anak-anak yang haus akan kasih sayang untuk hidup dalam dunia ini? Hujan salju yang menjadi satu-satunya saksi mata kisah kami hanya bisa diam mengunci mulutnya, bungkam.
Ada apa dengan pernyatan, “Lihat! Kita akan tetap bersama-sama melalui tebal dan tipis, menuju tempat di mana kita menyebrangi bukit ini.” ?
Pada akhirnya, semuanya berubah menjadi abu yang hilang tertiup angin.
Pada akhirnya, aku takkan mampu meniti jalan yang sama denganmu di sisiku lagi.
Pada akhirnya, aku kehilangan seseorang yang kusayangi.
Lagi.

1 komentar: